Sabtu, 07 Agustus 2010

Nahdlatul Ulama



Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai arti kebangkitan ulama, dibidani oleh tokoh - tokoh Ulama seperti Hadhratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari (1871-1947) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (1888 - 1971). NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dan kini menjadi salah satu organisasi dan gerakan islam terbesar di indonesia.

NU lahir dari komite Hijaz yang bertujuan mengupayakan berlakunya ajaran islam yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Syafi'i, Hanbali, Maliki). Sebagian besar yang mendominasi gerakan ini adalah mazhab Syafi'i.

Berbasiskan massa Pesantren di seluruh Nusantara, NU mencorong menjadi sebuah gerakan kultural yang sangat berkembang. Soliditas di kalangan NU juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kuatnya kekerabatan internal, baik yang disebabkan oleh seperguruan dalam menimba ilmu agama (pesantren sebagai tempat belajar), sebab nasab (keturunan), dan juga silaturahmi yang terjalin. Dan tentu saja ukhuwah Islamiyah dan kesatuan akidah.
Kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar (berfungsi sebagai Badan Penasehat), Syuriah (berfungsi sebagai Pimpinan Tertinggi), dan Tanfidziyah (berfungsi sebagai Pelaksana Harian). Kepengurusan NU juga dilengkapi dengan berbagai lajnah, lembaga dan badan otonomi.

Dalam kehidupan politik, NU ikut aktif semenjak zaqman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. Semula NU aktif sebagai anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), Kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), baik yang dibentuk zaman jepang maupun yang didirikan oleh seluruh oraganisasi islam setelah merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat islam indonesia. karena berbagai perbedaan, pada tahun 1952 NU, menyusul PSII. menyatakan menarik diri dari keanggotaan istimewa Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik. NU bersama dengan PSII dan Perti membentuk Liga Muslimin Indonesia sebagai wadah kerja sama politik dan organisasi islam. Dalam pemilihan umum tahun 1955 NU muncul sebagai partai politik besar ketiga. Pada masa orde baru NU bersama partai politik lainnya (PSII, Perti, Parmusi) berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984 NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926, yaitu melepaskan diri dari kegiatan politik dan menjadi organisasi sosial keagamaan.

Meski khittah 1926 NU pada  mulanya diilhami oleh suatu pemikiran bahwa keterlibatan secara langsung dalam kancah politik praktis ternyata tidak memberikan "keuntungan" yang signifikan bagi kelangsungan hidup organisasi. Perjalanan NU kemudian tampak lebih didominasi oleh aktivitas politik.inilah kemudian yang memunculkan ide untuk kembali ke khittah 1926, Bukan berarti NU harus meninggalkan dunia poltik, namun netralitas politik tetap menjadi pilihan NU. Karena itu, untuk menjaga sikap netral itu, dapat di maklumi jika PBNU melarang adanya rangkap jabatan bagi segenap pengurusnya dengan jabatan politik.

Dalam praktiknya, Anggota NU masih ada yang di PPP, tak sedikit yang menyebrang ke Golkar, dan tidak dirang juga masuk PDI. ini terjadi dalam kurun sekitar 1984 - 1998. Sampai kemudian pada tahun 1999 saat gelombang reformasi menyeruak, NU bisa berkampanye untuk rumahnya sendiri, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Langkah ini dianggap sebagai langkah "non politik" dari "politik" NU, di organisasi politik secara "langsung" (karena berarti ini mencederai khittah 1926) namun menampilkan representasi organisasinya yang memiliki kekuatan sosial cukup signifikan di indonesia dalam jaket PKB.

Meski bukan satu-satunya partai bentukan warga NU, dimasa inilah PKB meraih simpati massa, khususnya dari kalangan santri dimana termasuk islam yang cukup besar, hingga mampu menduduki peringkat lima besar pada pemilu 1999.
Sebagai cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari, sosok Abdurahman Wahid atau sering disapa Gus Dur tak terlepas dari perkembangan NU. Menjabat selama tiga periode berturut-turut dalam pucuk kepemimpinan di PBNU, Pemikiran Gus Dur banyak memberikan corak bagi perkembangan NU berikutnya. Ia disebut - sebut sebagai seorang yang memadukan pemikiran tradisional dan kotemporer. Greg Barton, dosen mata kuliah agama dan kajian Asia di Universitas Deakin Australia menulis dalam disertasinya yang berjudul "The Emergence of Neo Modernism", Salah satu nya mengupas pemikiran beberapa tokoh indonesia, diantaranya Gus Dur. Gus Dur adalah sosok yang penuh Kontroversi dan dianggap telah memelopori bangkitnya gerakan Liberalisme Islam di kalangan anak Muda NU.

Gus Dur kemudian terpilih sebagai ketua PKB yang dengan demikian harus meletakkan jabatan sebagai ketua PBNU. Dalam perkembangannya, saat pemilihan presiden dilaksanakan di senayan, pada tahun 1999 terjadi tarik-menarik. Lobi-lobi tokoh-tokoh islam di DPR/MPR menghasilkan konsesi politik yang berujung pada pemenangan Abdurrahman Wahid sebagai nomor satu di republik ini. Namun, selama kepemimpinannya pemerintah menuai badai kritik dan dipenuhi langkah-langkah yang juga penuh kontroversi. Gus Dur akhirnya lengser setelah pertanggung jawabanya di tolak oleh MPR dalam Sidang Istimewa.

Besarnya Organisasi NU yang oleh para penggasnya-dengan segala kejernihannya-dimaksudkan untuk menegakkan Izzul Islam wal Muslimin. Nyatanya cukup memberikan corak bagi khazanah sosial politik di Indonesia. Keberadaan organisasi Islam terbesar di negeri indonesia ini tak pelak mengundang harapan bagi segenap kaum muslimin di Indonesia khususnya untuk memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat, seluas-luasnya.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar