Senin, 30 Agustus 2010

Meminang Bidadari


"Menikah ?
"Ya ..."
"Tentu." JAwab Ayesha tanpa ragu.
"Pertimbangkan dulu, Jangan cepat ambil keputusan."

Bibinya memang benar, Ayesha sedikit tersipu, tangan kanannya membenahi abaya yang dipakainya dengan rikuh.
"Dengan Siapa, Ammah ?"
Wajah lembut itu tiba-tiba mengeras. Kedua matanya mendadak menyembung. mungkin karena air mata yang siap turun. entah kenapa, Luapan bahagiakah, karena keponakannya yang sudah di urus sejak kecil, akhirnya ada yang meminang ???

Ayesha menunggu jawaban dari amahnya. Tapi beberapa kejab hanya dilalui gelombang senyap.
"ammah ...... dengan siapa ???"
pandangan tajam wanita berumur itu menembus bola mata Ayesha. Seperti menimbang - nimbang kesiapan keponakan yang dicintainya itu, menikah.
Ayesha membalas pandang, lebih karena ia tak mengerti kenapa pernikahan, kalau memang itu yang akan terjadi padanya, tak disambut ammah dengan riang, seperti pernikahan-pernikahan pada umumnya.

"Dengan Ayyash !!!"
Ayyash ????

Ammah mengangguk. Wajahnya pucat, namun terkesan lega. Biarlah .....  
biarlah Ayesha yang memutuskan, ini hidupnya. Suara hati wanita itu bicara.
Di depannya tubuh Ayesha seperti kaku. Seolah tidak percaya . Senang, tapi juga tahu apa yang akan dihadapinya. Berita itu mungkin benar. Yang jadi pertanyaan, Siapakah dia ??????

"Kau pikirkan dulu. Ya ???
Ia memberi waktu sampai tiga hari. Katanya lebih cepat lebih baik." Ayesha masih tidak bergerak. Pandangannya menembus jendela, menyisiri rumah-rumah di lingkungannya dan debu tebal yang terembus di jalan.
Pernikahan ........
sungguh penantian semua gadis. Dengan Ayyash pula, siapa yang keberatan ???
Tapi semuapun tahu, apa arti sebuah pernikahandi Palestina. Tantangan, perjuangan lain yang membutuhkan kesiapan lebih besar. Terutama bagi setiap gadis, yang menikahi pemuda pejuang macam Ayyash !

Dulu sekali, sewaktu kescil, ia tidak memungkiri, kerap memperhatikan Ayyash dan teman-temannya dari balik kerudung yang biasa ditutupkannya ke wajah. Jika mereka kebetulan berpapasan. Mereka bertetangga. Begitulah Ayesha mengenalnya, dan melihat bocah lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya, tumbuh dewasa.
Ayah Ayyash salah satu pemegang pimpinan tertinggi di Hamas, sebelum tewas dalam aksi penyerangan markas tentara Israel. Ibunya, memimpin para wanita Palestina dalam berbagai kesempatan, mencegat, dan mengacaukan barisan tentara yahudi, yang sedang melakukan pengejaran atas pejuang intifadah.
Mereka biasa muncul tiba-tiba dari balik tikungan yang sepi, atau memadat di pasar-pasar, dan menyulitkan pasukan Isarel yang mencari penyusup. Bukan tanpa resiko, karena semuapun tahu, para tentara itu tak menaruh belas kasihan pada perempuan, atau anak-anak. Para perempuan yang bergabung, menyadari betul apa yang mereka hadapi. terkena tamparan atau tendangan, bahkan popor senapan, hingga tubuh mengucurkan darah, bahkan terlepasnya nyawa, adalah taruhannya.
Ayesha sejak lima tahun lalu, tak pernah meninggalkan satu kalipun aksi yang diadakan. Ia iri dengan para lelaki yang mendapat kesempatan lebih memegang senjata. Itu sebabnya kemudian gadis berkulit putih kemerahan itu, tak ingin kehilangan kesempatan jihadnya, sejak usia belia.

Tiga tahun lalu, ketika ibunda Ayyash syahid, dalam satu aksinya, setelah sebuah peluru mendarat di dahinya, mereka semua datang, juga Ayesha, untuk menyalatkan wanita pejuang itu. Pedihnya kehilangan Ummi, Ayesha menyadari perasaan berduka yang bagaimanapun memang manusiawi.
Begitu kagumnya ia melihat ketegaran Ayyash, mengatur semua prosesi, hingga tanah menutup dan memisahkannya dari bunda tercinta. Tak ada sedu sedan, tak ada air mata. hanya doa yang terucap yang tak putus. Begitulah Ayyash menghadapi kehilangan abi, saudara-saudara lelakinya, adik perempuannya yang paling kecil, lalu terakhir ummi yang dikasihi. Begitu pula yang dipahami Ayesha, cara pejuang menghadapi kematian keluarga yang mereka cintai.
Dan kini, Ayesha dua puluh dua tahun. masih menyimpan pendar kekaguman dan simpati yang sama bagi Ayyash. Bocah laki-laki bermata besar itu sudah menjelma menjadi lelaki gagah, dengan kulit merah kecoklatan, hidung bangir, dan mata setajam elang. Semangat perjuangan dan ketabahan lelaki itu sungguh luar biasa. Sewaktu dua abangnya melakukan aksi bom bunuh diri, meledakkan gudang logistik israel, ia hanya mengucapkan innalillahi, sebelum bangkit dan menggemakan Allahu Akbar, Saat memasuki Rumah dan mengabarkan berita itu pada umminya.
Lalu ketika Fatimah, adiknya yang berpapasan dengan tentara, diperkosa dan di bunuh sebelum di lemparkan di jalan dengan tubuh tercabik - cabik. Ayyash masih setabah sebelumnya. Padahal siapapun tahu, cintanya pada Fatimah, bungsu dari keluarga mereka.

Ayesha tak mengerti, terbuat dari apa hati lelaki itu. Setelah semua kehilangan, tak ada dendam yang lalu membuatnya menyerang membabi buta, atau meluapkan amarah dengan makian kotor. Ayyash menerima itu semua dengan keikhlasan luar biasa. Hanya matanya yang sesekali masih berkilat, saat ada yang menyebut nama adiknya. Di luar itu, hanya keshalihan dan ketaatannya pada koordinasi gerak Hamas yang kian bertambah. begitu dari hari ke hari.

Mereka berhadapan, pertama kali dalam hidupnya ia bisa bebas menatap wajah lelaki itu dari jarak dekat. Ayyash yang tenang, hanya bibirnya yang menyungging senyum lebih sering. Sejak Ijab kabul diucapkan, meresmikan keberadaan keduannya.
Ayyash yang tenang dan hati Ayesha yang bergemuruh, bukan saja karena kebahagiaan yang meluap - luap, tapi oleh sesuatu yang lain. Sebetulnya hal itu ingin disampaikan pada lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Namun saat terbayang apa yang telah dialami Ayyash, dan senyum yang pertama kali dilihatnya begitu cerah.
bayin Ayesha urung. "Biarlah ..... nanti - nanti saja, atau tidak sama sekali," pikirnya.
Ia tidak mau ada yang merisaukan hati lelaki itu,terlebih karena waktu yang mereka miliki tak banyak. Bahkan sebentar sekali.
Dua hari lalu, Ayyash sendiri yang menyampaikan kebenaran berita itu, niatan lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, yang sudah selama dua pekan ini di bicarakan orang dari mulut ke mulut.
"Ayyash mencari istri !!!"
"ia akan menikah secepatnya, akhirnya "
"tapi siapa yang akan menerima pernikahan yang berusia sehari semalam ???"
itulah percakapan gadis-gadis di lingkungan mereka. Awalnya Ayesha tidak mengerti. "kenapa sehari semalam ??"  tanya Ayesha kepada ammahnya.
"sebab, lelaki itu sudah menentukan hari kematiannya," Ayesha. kini tinggal sepekan lagi waktunya hampir habis."
Ayesha ingat ia menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba melanda Ayyash pasti sudah menyanggupi melakukan aksi bom bunuh diri, seperti dua saudaranya dahulu. Cuma itu alasan yang bisa diterima, kenapa pejuang yang selama ini terkesan tak peduli dan tak pernah memikirkan untuk menikah, karena mobilitasnya yang tinggi, tiba-tiba seolah tak sabar untuk segera menikah.
" Saya ingin menghadap Allah, yang telah memberi begitu banyak kemuliaan pada diri dan keluarga saya, dalam keadaan sudah menyempurnakan separuh agama."  Kalimat panjang lelaki itu, wajahnya yang menunduk dan rahangnya yang terkatup rapat. menunggu jawaban darinya.
Ayesha merekam semua itu dalam ingatannya. Dua hari lalu, saat khitbah dilangsungkan.
"Ya ......"  jawabanya memecah kesunyian.
Ammah serta merta memeluknya dengan wajah berurai air mata. bahagia berbaur kesedihan atas keputusan Ayesha. Membayangkan keponakannya yang selalu dibanggakan karena semangatnya yang tak pernah turun, akan menjalani pernikahan. Yang malangnya, bahkan lebih pendek dari umur jagung.
Berganti-ganti Ayesha melihat wajah ammah yang basah dengan air mata, lalu senyum dari bibir Ayyash yang tak henti melantunkan hamdalah.
Didepan Ayesha, Ayyash tampak begitu bahagia, karena tiga hari sebelum tugas itu dilaksanakan, ia berhasil menemukan pengantinnya. Seorang Bidadari dalam pejuangan yang ia hormati dan kagumi, dari kekuatan mental maupun fisiknya, ya Ayesha.

Mereka masih bertatapan, saling menyunggingkan senyum. Ayesha yang wajahnya masih sering bersemu dadu, nampak sangat cantik di mata Ayyash. "Pengantinya, Bidadarinya ........" kata-kata itu diulang-ulangnya beberapa kali di dalam hati. namun betapa cantiknya Ayesha, Ayyash tak hendak melanggar janji yang ditekatkan jauh dalam sanubarinya.
"Ayesha ...... saya tak menginginkanmu, bukan karena saya tidak menghormatimu."
Senyum Ayesha surut, matanya yang gemintang menatap Ayyash tak berkedip, menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Ini malam pertama mereka, dan setelah ini, tak akan ada malam - malam lain. Besok selepas waktu Dhuha, lelaki itu akan  menemukan penggal akhir hidupnya, menemui kekasih sejati. Allah Rabbul Izzati. Tak layakkah Ayesha memberikan yang terbaik baginya ???
Bagi ia yang akan menjelang syahid .......

Pendar di mata Ayesha luruh. Ayyash mendongakkan dagunya, tangannya yang lain menggenggam jari-jari panjang Ayesha, seakan mengerti isi hati istrinya.
"Saya mencintaimu, Ayesha. Dan saya meridhai semua yang telah dan akan Ayesha lakukan, selama kebersamaan ini dan setelah saya pergi. Saya percaya dan berdoa, Allah akan memberimu seorang suami yang lebih baik, selepas kepergian saya."
Ayesha tersenyum, menyembunyikan hatinya yang bergemuruh. Seandainya ia dapat menceritakannya pada Ayyash. Tapi ia tak sanggup.
"Tak apa, saya mengerti." Cuma itu yang bisa dikatakan pada Ayyash. Suasana sekitar hening. Langit tanpa bulan tak mempengaruhi kebahagiaan di hati Ayyash. Bulan, baginya malam ini telah menjelma pada kerelaan dan keikhlasan istrinya.
"Saya ingin, Ayesha bisa mendapatkan yang terbaik." Lelaki itu melanjutkan kalimatnya. "Dan karenanya saya merasa wajib menjaga kehormatanmu. Kita bicara saja, ya ?? Ceritakan sesuatu yang saya tidak tau, Ayesha." 
Ayesha menatap mata Ayyash lagi. Disana ia bisa melihat kegarangan dan keteduhan melebur satu. Sambil ia berpikir keras, apa yang bisa diceritakannya pada lelaki itu ?.  Tak lama dari bibir wanita itu meluncur cerita-cerita lucu tentang masa kecil mereka. Canda teman mainnya, dan kegugupannya saat pertama berhadapan dengan Ayyash. Juga jari - jari tanganya yang berkeringat saat ia mencium tangan Ayyash pertama kali. Betapa ia hampir terjatuh karena keram, akibat duduk terlalu lama ketika mencoba bangun menyambut orang-orang yang datang menyalami mereka tadi pagi.
Diantara senyum dan derai tawa suaminya, Ayesha masih berfikir tentang lelaki yang duduk dihadapannya. Sungguh, ia ingin membahagiakan Ayyash, dengan cara apapun. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Ayyash, membuat Ayesha tak habis pikir. Kenapa kebahagiaan orang lain, bisa begitu membuatnya bahagia ?  Tapi, inilah kebahagiaan itu, bisiknya sesaat setelah mereka menyelesaikan shalat malam dan tilawah bersama. kali pertama dan terakhir. Kebahagiaan bukan pada umumnya, tapi pada esensi kata bahagia. Dan Ayesha belum pernah sebahagia itu sebelumnya.

Mereka masih belum bosan saling menatap satu sama lain, dan berpegangan tangan. saat ia merebahkan diri di dada Ayyash setelah sholat Subuh, lelaki itu tidak menolak.
"Biarkan saya berbakti kepadamu Ayyash." Ia ingat Ayyash menundukkan wajah dalam, seperti berpikir keras sebelum kemudian mengangguk dan menerimanya. Beberapa jam lagi, Ayesha menghitung dalam hati. Kedua matanya memandangi wajah Ayyash yang pulas di depannya. Tinggal beberapa jam lagi, dan mereka akan tinggal kenangan. Dirinya dalam kenangan Ayyash, Ayyash dalam kenangan orang-orang sekitarnya.
Ketika fajar mulai menampakkan diri, Ayesha yang telah rapi, kembali menatap Ayyash yang tertidus pulas, mencium kening dan tangan lelaki itu, sebelum meninggalkan rumah dengan langkah pelan.

Pukul setengah tujuh pagi, Ayyash terbangun oleh gedoran pintu, dan banyak orang berkerumun di depan rumah. Pada pagi pertama pernikahan mereka. "Ada apa ???"
"Ayyash ...........istrimu Ayesha."
Ada titik air meruah diwajah ammah Ayesha. lalu suara-suara gamang yang berdengung. Saling meningkahi, semua seperti tak sabar menyampaikan berita itu padanya.
"Setengah jam lalu, Ayyash.   Ledakan ...... Ayesha yang melakukannya ......"
"Gudang peluru itu. Bunyi  .... Bagaimana kau bisa tidak mendengar ???"
 Ayyash merasa tubuhnya mengejang. Istrinya ....... Ayesha mendahuluinya ? kepaln tangannya mengeras. Mengenang semua keceriaan dan kejenakaan, serta upaya Ayesha membahagiakannya semalam. Jadi ........  Masya allah !!!  Istrinya kini, benar-benar Bidadari.

Pikiran itu menghapuskan rasa pedih yang sesaat tadi mencoba menguasai hatinya. Meski senyum kehilangan belum lepas dari wajah lelaki itu, sewaktu ia undur diri, dari kerumunan didepan rumah.
Keramaian yang sama masih menantinya dengan sabar, ketika tak lama kemudian lelaki itu berkemas, lalu dengan ketenangan yang tak terusik, melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Waktunya tinggal sebentar, tentara israel pasti akan melakukan patroli kemari, sesegera mungkin setelah apa yang dilakukan Ayesha.
Ia harus segera pergi. ayyash mempercepat langkahnya. Teman-temannya sudah menunggu dalam Jip terbuka yang membawa mereka berempat. Sepanjang jalan, tak ada kata-kata. Semua melarutkan diri dalam zikir dan memutihkan niatan. Operasi hari ini rencananya akan menghancurkan salah satu pusat militer Israel didaerah perbatasan. memimpin paling depan, langkah Ayyash sedikitpun tak di gayuti keraguan. saat diam-diam mereka menyusup. Allah memberinya bidadari, dan tak lama lagi, ia akan menyusulnya. Pikiran bahagianya berbicara. Ayyash tersenyum, mengaktifkan alat peledak yang melilit dibadannya. Ini, untuk perjuangan .............
Dan bumi yang terharu atas perjuangan anak-anaknya, pun meneteskan air mata. Hujan pertama pagi itu, untuk Ayyash dan Ayesha.

diambil dari judul cerpen Saiful Bahri 

2 komentar:

  1. aq baca paragraf awal dan akhir aja, karna terlalu panjang. perasaan pernah baca cerpen di atas.

    BalasHapus
  2. Cerpen ini dibuat pada tahun 2003
    yang penting ngerti makna dan intinya .......

    tapi baca semua lebih bagus jadi tau alur cerita yg naik turun dan bolak balik ama perasaan mereka berdua ............

    BalasHapus