Minggu, 08 Agustus 2010

KH. Zainuddin MZ


Dai kondang sejuta umat, KH Zainuddin MZ, memilih jadi poltikus. Ia masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, tampaknya ia tak betah berlama-lama di PPP. Pada 20 januari 2002 bersama rekan-rekannya, ia mendeklarasikan PPP Reformasi. Dalam Muktamar Luar biasa pada 8-9 April 2003 di Jakarta, nama partai yang ia pimpin menjadi Partai Bintang Reformasi. Secara resmi pada waktu itu ia ditetapkan sebagai calon presiden oleh partai ini.

Menurut KH. Zainuddin MZ, partai yang dipimpinnya adalah partai baru, bukan pecahan dari PPP, bukan juga PPP jilid dua. Hal itu disampaikan dalam pidatonya pada acara Gema Muharram 1423 H, Taaruf (perkenalan) Nasional PPP Reformasi dan Tabligh Akbar, Ahad (24/03/02) di gelora Bung Karno Jakarta.

Dunia politik bukanlah hal baru bagi pria kelahiran Jakarta, 2 maret 1951 ini. Pada tahun 1977-1982 ia sudah bergabung dengan partai PPP  yang saat itu berlambang Ka’bah. Bersama beberapa tokoh NU dia keliling ke banyak wilayah mwngkampanyekan PPP. Hasil yang diperoleh saat itu cukup signifikan dan sempat mempengaruhi dominasi Golkar. Tak ayat, kondisi itu membuat penguasa Orde Baru was was. Akhirnya mereka sering di teror. KH. Zainuddin merasakan ruang dakwahnya terjepit. Maka sejak 1983 ia tidak lagi menggeluti urusan politik praktis. Pernyataannya yang sangat terkenal saat itu adalah, “Saya tidak kemana-mana. Tapi, saya ada dimana-mana”. Sejak itulah ia memfokuskan profesinya di bidang dakwah. Sejak itu, nama Zainuddin makin berkibar.

Lalu, kalau kini ia kembali terjun ke dunia politik praktis, apa alasannya ?  “saya penasaran mengapa partai berbasis islam tidak memenangkan pemilu,” itu kata beliau. Namun tampaknya itu sekedar cerita masa lalu. Harapan PPP untuk memanfaatkan dai sejuta umat ini untuk mendongkrak perolehan suaranya yang jeblok pada pemilu 1999 justru menjadi persoalan baru. Pasalnya, Zainuddin hengkang dari PPP dan mendeklarasikan Partai Bintang Reformasi.

Dengan Ketokohan dan senioritasnya, kini Zainuddin tampil sebagai komandan PPP Reformasi (kemudian berubah menjadi Partai Bintang Reformasi) yang sebagian besar diisi kalangan muda PPP. Tapi, dia menolak jika peran dominannya dinilai datang tiba-tiba. Sebab, dia bukan orang baru di PPP.
Totalitas Zainuddin untuk PPP bisa dirunut dari latar belakangnya. Secara kultural dia warga Nahdiyin, atau menjadi bagian dari keluarga besar NU. Dengan posisinya tersebut, dia ingin memperjuangkan NU yang saat itu menjadi bagian dari fusi PPP yang dipaksakan Orde Baru pada 5 Januari 1971. Ormas lain, yang menjadi bagian fusi itu diantara lain, Muslimin Indonesia (MI), Perti, dan PSII.

Selain itu, Keterlibatannya dalam PPP tak bisa dilepaskan dari guru ngajinya, KH Idham khalid yang pernah jadi ketua umum PBNU. Dia mengaku lama nyantri di ponpes Idham Khalid di Cipete, Jakarta Selatan yang belakangan identik sebagai kubu dalam NU. Kemunculan dai kelahiran Betawi ini, sangat fenomenal. Pada masa kekuasaan dan pemerintahan Orde Baru dakwahnya menjadi menarik karena mampu menembus berbagai sektor, kalangan dan golongan.

Anak Tunggal buah cinta pasangan Turmudzi dan Zainabun dari keluarga betawi asli ini sejak kecil memang sudah nampak mahir berpidato. Udin nama panggilan keluarganya suka naik ke atas meja untuk berpidato di depan tamu yang kerkunjung di rumah kakeknya. “Kenakalan” berpidatonya itu tersalurkan ketika mulai masuk Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Aliyah di Darul Ma’arif, Cipete Jakarta. Disekolah ini Udin belajar pidato dalam forum ta’limul Muhadharah (belajar berpidato). Kebiasaannya membanyol dan mendongeng terus berkembang, setiap kali tampil, ia memukau teman-temannya. Kemampuannya itu terus terasah, berbarengan permintaan ceramah yang terus mengalir.
Karena ceramahnya sering dihadiri puluhan ribu umat, maka tak salah kalau ia dijuluki “Dai Sejuta Umat”.

Suami Hj. Khalilah ini semakin dikenal masyarakat ketika ceramahnya mulai memasuki dunia rekaman. Kasetnya beredar bukan saja di seluruh pelosok Nusantara, tapi juga ke beberapa Negara Asia. Sejak saat itu, ia mulai dilirik beberapa stasiun Televisi. Bahkan dikontrak oleh sebuah biro perjalanan haji yang bekerjasama dengan televise swasta bersafari bersama artis ke berbagai daerah dengan slogan Nada dan Dakwah. Menurut KH.Zainuddin MZ yang pernah mendapatkan doctor honoris causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini, politik itu pada dasarnya bersih,. Seperti pisau, ia bisa memotong leher ayam dan bisa memotong leher orang. Tergantung siapa yang menggunakannya. Karena itu para pelaku politik harus mempunyai moral politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar